Menyikapi Perbedaan

19 Apr

Saya ingin mengajakmu menyisihkan sedikit waktu untuk merenungi kesengsaraan yang sedang dialami negeri ini. Mulai dari kemiskinan dan kemelaratan, degradasi moralitas anak bangsa, diperburuk lagi oleh kejahatan manusia dan pertikaian antar kelas masyarakat. Kemudian lebih disempurnakan lagi dengan fenomena alam berupa banjir dan tanah longsor, letusan gunung, gempa bumi, dan bahkan tsunami.Sepertinya, setiap hari bencana terus menerus melanda negeri ini nyaris tanpa jeda. Tangis dan airmata pun tak kunjung reda.

Beragam penyikapan lalu dilontarkan, sesuai dengan persepsi dan latar belakang pengalaman dan pengetahuan masing-masing. Baik dengan mendasarkan diri pada empirik, maupun spiritual. Di antara yang mengemukakan penyikapan itu, tak sedikit yang menawarkan kearifan bahwa semua bencana yang melanda negeri ini sesungguhnya merupakan peringatan dari Tuhan Yang Maha Kuasa, atas dosa dan kealpaan manusia yang telah melampaui batas. Yang mereka interpretasikan sebagai dosa itu antara lain perilaku buruk berupa kemaksiatan, keserakahan, perusakan lingkungan, korupsi, hingga ketidakadilan sosial.

Namun, sebagian lain ada pula yang menafikan keterkaitan semua bencana ini dengan urusan keagamaan. Mereka lebih cenderung berorientasi pada keilmuan tentang alam, geologi, dan sebangsanya. Kelompok ini memandang bahwa semua peristiwa alam yang terjadi merupakan konsekuensi logis dari letak geografis, di samping juga merupakan akibat dari kesalahan pengelolaan lingkungan.

Kedua pemahaman ini sesungguhnya tidak saling bertentangan. Hanya saja, keduanya terkesan terlalu memandang permasalahan secara parsial dan tak seutuhnya benar, meskipun tidak seutuhnya salah juga.

Dilihat dari perspektif keilmuan, alam raya ini terjaga dalam sebuah keseimbangan berbagai unsur di dalamnya. Namun, setiap benda yang ada, baik di bumi maupun di jagat raya, tak ada yang diam dalam keadaan statis. Mereka setiap saat bergerak dalam sebuah proses dinamis baik secara individual maupun secara bersama-sama. Lalu pada suatu titik tertentu, perubahan keadaan yang kemudian terbentuk pada ahirnya akan mengganggu keseimbangan awal.

Perubahan yang mengganggu keseimbangan itu bisa terjadi secara alamiah sesuai karakteristik unsur-unsur yang membentuk jagat raya. Atau, bisa juga terjadi akibat ulah manusia. Sebut saja misalnya, perusakan hutan dan lingkungan, penambangan kandungan bumi, peledakan gunung, perusakan lapisan ozon, dan seabreg perilaku lain.

Untuk mengimbangi ketidakseimbangan yang terjadi, maka jagat raya pun secara otomatis berproses mencari dan mendapatkan sebuah keseimbangan baru. Proses mendapatkan kesimbangan baru menggantikan keseimbangan lama itu, selalu terjadi sejak jagat raya ini tercipta. Setelah ada manusia, proses alam yang sedang mencari keseimbangan baru menggantikan keseimbangan lama itu, jika dirasa mengganggu dan menyengsarakan kehidupan manusia, maka kita menyebutnya sebagai bencana.

Dalam perspektif agama, meskipun pada dasarnya bencana itu adalah sebuah proses jagat raya untuk mencari keseimbangan baru, namun Tuhan sebagai pencipta dan pemilik alam semesta ini terkadang menggunakannya juga untuk menghukum suatu kaum yang menurut penilaianNya telah berbuat durhaka secara melampaui batas. Tentu saja kebijaksanaan ini diambil hanya sebagai langkah terahir. Sebelumnya, Dia dengan sifat Rahman dan RahimNya menunjuki kaum yang dalam pandanganNya telah menyimpang jauh dari kebenaran itu, dengan mengangkat seorang rasul dari antara manusia, dengan tugas mendidik manusia agar mau mengubah sikap dan pola hidup yang salah. Jika kaum yang ditunjuki itu bukannya berubah menjadi baik, tetapi malah menentang bahkan menganiaya rasul yang ditugasiNya dan orang-orang yang mengikutinya, barulah hukuman itu dianggap layak untuk ditimpakan. Itu pun bila menurut penilaianNya kedurhakaan mereka benar-benar telah melampaui batas. Sesuai dengan aturanNya, Dia tidak akan menurunkan adzab bila tidak mengirimkan rasul sebelumnya lebih dahulu. FirmanNya, “Wa ma kunna mu’adzibina hatta nab’atsa rasulan” (Bani Israil: 15).

Sejauh pengertian yang saya dapatkan dari membaca kitab suci, sepanjang perjalanan sejarah sejak ribuan tahun lalu, bila Tuhan berkehendak menghukum suatu kaum, hukuman itu bukanlah didasari atas perbuatan maksiatnya. Adzab yang diturunkan kepada kaum pembangkang itu semata-mata disebabkan karena penentangan dan penganiayaan mereka terhadap utusanNya dan para pengikutnya. Bencana yang diturunkan pun bukan semata-mata ditujukan hanya untuk menghukum kaum durhaka, melainkan juga digunakan sebagai sebuah cara perlindungan terhadap orang-orang yang mengikuti perintah Tuhan dan rasulNya dari penganiayaan kaum durhaka tadi.

Sebetulnya, ketika Tuhan mengangkat seorang manusia menjadi rasulNya, kebebasan pun diberikan sepenuhnya kepada kita. Apakah kita mau percaya serta mengikuti seruannya, atau mau menolak dan mengingkari orang yang telah diberi tugas sebagai rasul itu. Kalaupun kita memilih untuk mengingkarinya, hukuman atas pengingkaran itu tidak akan dikenakan di dunia. Pertanggungjawabannya akan menjadi urusan nanti di akhirat. Jadi, tak perlu takut datang adzab di dunia ini, sepanjang tidak melakukan makar dan penganiayaan terhadap seorang rasul atau para pengikutnya. PernyataanNya jelas dan tegas. “Wa qulilhaqu min robikum. Fa man sya-a falyu’min, wa man sya-a falyakfur.” Dan katakanlah, kebenaran ini datang dari Tuhanmu. Maka barangsiapa menghendaki, berimanlah. Dan barangsiapa menghendaki, ingkarilah (Al-Kahfi : 29). Pernyataan ini terbukti telah diberlakukan secara konsekuen sepanjang sejarah.

Penafsiran-penafsiran seperti semua itu telah membuat saya berpikir tentang bencana yang melanda negeri ini sekarang, dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa dekade terahir.

Selama ini, tak sedikit orang-orang yang telah mengaku menjadi nabi. Ada yang berpengikut hanya puluhan saja, ada pula yang mencapai ratusan. Sekarang ini, yang sedang ramai dibicarakan dan diberitakan adalah sebuah jama’ah bernama Ahmadiyah yang memiliki keyakinan bahwa pada zaman ini Tuhan telah mengangkat seorang nabi mengikuti syari’at nabi Muhammad saw.

Tentang komunitas Ahmadiyah ini, perhatian saya agak lebih terfokus. Meskipun di negeri kita  dianggap golongan minoritas dengan perkiraan pengikut  berjumlah berkisar lima ratus ribuan, tetapi jumlah mereka di seluruh dunia mencapai dua ratus lima puluh juta jiwa lebih, tersebar di hampir dua ratus negara. Sebuah angka fantastis. Melewati jumlah penduduk negeri kita. (lanjut ke halaman 2)

Leave a comment